Feeds:
Posts
Comments

Pengatar

Saat ini tidak ada sekolah dari berbagai lapisan dan tingkat kependidikan yang secara khusus memiliki kemampuan menghasilkan para peserta didiknya untuk menjadi pemimpin. Belum ada format pendidikan untuk mempersiapkan pemimpin, apalagi dengan harapan untuk dapat melahirkan pemimpin masa depan. Pemimpin bangsa memang tidak bisa disiapkan secara sengaja melalui institusi pendidikan. Namun, tentunya dalam proses pendidikan semua peserta didik akan banyak belajar dan mendapatkan “pelajaran” yang langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kualitas dan gaya kepemimpinannya.

Mengingat pendidikan berbeda dengan pengajaran, pendidikan mempunyai arti yang lebih luas lagi. Pendidikan dapat berlangsung di masyarakat, di keluarga, di tempat bekerja dan tempat lainnya sementara pengajaran dalam prosesnya harus berlangsung secara terorganisir melalui institusi (formal) persekolahan termasuk di perguruan tinggi dengan menumbuhkan nilai-nilai positif yang bermanfaat di kemudian hari. Siswa perlu diajarkan dan dikenalkan secara dini dalam sistem pendidikan (nasional) agar pada saat dibutuhkan mereka telah memiliki kapasitas dan akseptabilitas yang memadai untuk memimpin. Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting dan telah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi dalam upaya memberdayakan masyarakat agar dari masyarakat yang sudah terbedayakan ini akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang efektif, baik pemimpin politik, bisnis, agama, maupun sosial.

Di Indonesia munculnya sekolah-sekolah Berasrama (Boarding School) sejak pertengahan tahun 1990. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi pendidikan Indonesia yang selama ini berlangsung dipandang belum memenuhi harapan yang ideal. Boarding School yang pola pendidikannya lebih komprehensif-holistik lebih memungkinkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ideal untuk melahirkan orang-orang yang akan dapat membawa gerbong dan motor pergerakan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan agama.

Boarding School: Pendidikan Alternatif untuk Melahirkan Pemimpin

Ada dua fenomena menarik  dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para guru pembimbing.
 
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta  mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan   tersebut berlangsung dari pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula.
 
Sistem pendidikan seperti itu secara tradisional  jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia mulai dari Filosof Plato hingga cendekiawan Nurcholish Madjid. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa mereka memang orang-orang yang bercikal bakal menjadi the great man and indigenous people. Apakah boarding  school memang bukan untuk pendidikan orang biasa? Atau sekolah ini khusus melahirkan calon-calon orang besar?
 
Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekuennsi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.
 
Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan menengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
 
Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak ke arah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.
 
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikontruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menimba ilmu untuk menggapai harapan hidup yang lebih berkualitas.
 
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu, anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan pendidikan dan fasilitas yang baik. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.

Kondisi di atas memungkin siswa boarding school berkembang menjadi pribadi yang utuh (insan kamil) sebagai prasyarat untuk menjadi pemimpin. Pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang baik seperti: creativity, morality, courage, knowledge, dan commitment. Calon pemimpin minimal harus memiliki kelima sifat-sifat positif tersebut, mengingat pemimpin bisa menjadi simbol moral dan pemersatu bagi komunitasnya, pemimpin harus bisa menjadi agent of development menuju kesejahteraan, kemakmuran. Seorang pemimpin harus mampu membawa komunitasnya melangkah jauh kedepan bukan hanya sekedar menjadi one step ahead tapi lebih leading to the farthest.

Faktor Guru

Guru secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, gur-u’, yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati. Dalam khazanah Jawa Kuno, dikenal sejumlah istilah yang menempel pada kata ’guru’: guru desa (kamitua desa yang mumpuni dalam dunia spiritual), guru hyan (guru rohani), guru loka (pejabat agama di istana), dan guru pitara (mendiang nenek moyang yang patut dimuliakan karena kewaskitaannya).

Oleh karena itu, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat jika seseorang ingin jadi pemimpin yang baik. Ia harus mampu mengajarkan bagaimana jadi manusia yang baik, mampu memberi teladan bahwa, misalnya, korupsi itu sama saja dengan mencuri lewat contoh langsung dalam laku keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serba terbatas.

Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan peran macam itu selain istilah ’guru’, bukan ’teacher’ atau ’lecture’. Itu sebabnya, ’guru’ kerap dipanjangkan sebagai “digugu dan ditiru”. Jadi, tidak mengherankan jika peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” hanya ada di negeri atau di tempat di mana ’guru’ tak hanya dimengerti semata sebagai ’teacher’. Makanya, guru (pernah) diposisikan sebagai “manusia suci”, semacam resi, yang selain pintar, tetapi punya prilakuyang tulus dan ikhlas. Dari sini kita jadi mengerti sebab kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang (pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan tulus Di sini muncul dilema. Kita sepakat, sudah sepantasnya guru punya penghidupan dan penghasilan gaji yang baik. Namun, jika guru sudah punya kehidupan yang layak, taruhlah laiknya pegawai bank, kita khawatir banyak orang ingin jadi guru karena semata tergiur penghasilannya yang memadai, bukan karena panggilan hati menjadi pendidik. Sehingga akan muncul kekhwatiran, guru dimengerti hanya sebagai profesi, yang tak ada bedanya dengan profesi sekretaris atau arsitek, misalnya.

Dalam sejarah di Indonesia, para pendiri negeri ini adalah seorang guru. Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran; mulai dari berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur jadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tetapi juga nonformal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu dengan warna merah-putih dan diajari lagu-lagu perjuangan.

Dari kelompok kiri, Semaoen, Alimin, hingga Tan Malaka juga punya pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru hampir di semua tempat pelariannya di luar negeri. Dari militer, Soedirman dan Nasution juga punya pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama lebih kurang 5 tahun menjadi kepala sekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap, sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu (1938) dan di Palembang (1939-1950), sebelum jadi tentara KNIL.

Kondisi di atas jelas mengindiklasikan bahwa untuk dapat melahirkan pemimpin harus oleh guru-guru yang juga pemimpin. Bukan guru-guru yang berhenti sebatas mentransformasi ilmu pengetahuan tanpa diperkaya dengan melakukan internalisasi nilai-nilai luhur kehidupan. Konsep sekolah berasrama perlu pendekatan menyeluruh, terutama dalam memahami siswa. Sekolah berasrama tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas akademik dan fasilitas menginap memadai bagi siswa, tetapi juga menyediakan guru yang menggantikan peran orangtua dalam pembentukan watak dan karakter.

Kedekatan antara siswa dan guru dalam sekolah berasrama yang tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses transfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi guru di mata para murid. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok yang ingin diteladani. Dr. Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para siswa dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka.

Keteladanan secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi secara internal personality dan akan tercipta tanpa si anak merasa asing dengan kemampuan yang mereka miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain. Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan kesiapsiagaan guru mereka 1×24 jam akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi mereka sebagai pelajar.

Hal di atas akan mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Jika metode pembelajarannya diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan para pelajar akan lebih mudah untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun, untuk itu dibutuhkan seorang guru yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif. Harmonisasi keduanya akan memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi siswa.

Guru-guru sekolah berasrama harus banyak “diproduksi” oleh universitas-universitas yang selama ini melahirkan banyak guru-guru mata pelajaran. Guru sekolah berasrama adalah guru yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional. Dia tidak hanya pintar mengajar, tapi juga pintar berteman, pintar memberi pengayoman, pintar bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak, selalu berkembang dan terus berkembang. Karena yang dia hadapi adalah siswa atau peserta didik yang terus berkembang, terus belajar, dan terus berubah. Bagaimana kita melahirkan peserta didik yang hebat, visioner, responsif, kalau gurunya adalah orang-orang yang tidak cinta ilmu, tidak terus belajar, dan tidak terus berkembang.

Tentang IIEC

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang harus dilakukan oleh semua orang tua agar putra-putrinya menjadi anak yang berilmu pengetahuan dan berwawasan yang luas, kepribadian yang baik dan menarik, memiliki life skill yang tinggi yang dibutuhkan untuk dapat survive dan kompetitif dalam kehidupan global, serta memiliki pengetahuan keislaman yang cukup sehingga dapat menjadi benteng yang kokoh untuk mengarungi kehidupan yang panjang, terjal dan banyak tantangan.

IIEC hadir ingin menjawab tantangan tersebut, dengan berbagi tanggung jawab dengan orangtua. Yakni dengan menyediakan sistem pendidikan yang terpadu menyatukan pendidikan rohani dan jasmani, menyatukan pendidikan duniawi dan ukhrawi.

Orang tua membutuhkan lembaga pendidikan yang baik untuk mengaktifkan potensi-potensi yang ada pada diri putra-putri mereka. Untuk dapat mengelola potensi besar yang ada pada anak-anak dibutuhkan waktu yang panjang. Mereka juga harus dijaga dari kemungkinan terkontaminasi oleh budaya-budaya metropolitan yang kontrapoduktif. Sehingga boarding school adalah pilihan yang tepat untuk terlaksananya pendidikan yang ideal, integratif, dan kaffah. Dalam Boarding School sangat mungkin dilakukan transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan dan keagamaan secara lebih intensif dan holistik (holistic learning).

Menjawab kebutuhan orangtua dalam pendidikan sistem boarding school, IIEC menghadirkan beberapa sekolah. Antara lain adalah International Islamic High School (IIHS) – Boarding Intermoda dan International Islamic Secondary School (IISS) – Boarding Intermoda yang menyelenggarakan pendidikan boarding dengan format yang sangat lengkap (sekolah dan asrama serta fasilitas lainnya). Berada di tengah kota yang terkoneksi dan terintegrasi dalam sebuah sistem yang terencana, teroganisasi, dan terkontrol secara baik serta digerakkan oleh SDM yang berkualitas secara intelektual, maupun emosional – spiritualnya.

Adapun visi IIEC adalah membangun pendidikan internasional berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW untuk menegakkan eksistensi manusia sebagai Khalifatullah Fi’l-ardh. Sedangkan misinya adalah membangun manusia ber-akhlaq-ul karimah, siddiq, amanah, fathanah, tabligh dan mampu mengemban Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi alam semesta.

Sedangkan Guru dan Tenaga Administrasi yang disiapkan IIEC adalah orang-orang yang memiliki karakter keislaman yang kuat, lulus S1, S2, dan S3 dari perguruan tinggi ternama dalam dan luar negeri.

Program pendidikan di IIEC meliputi:

1. Islamic Studies Program

Islamic studies diarahkan untuk mengembangkan wawasan keagamaan yang luas, terbuka dan dapat mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari serta memberi warna dalam semua aspek kehidupan yang sehingga terlahir pribadi yang shaleh pada tingkat spiritual.

2. Academic Program

Program akademik diarahkan untuk mengembangkan intelektual (intellectual development) siswa sehingga terlahir pribadi yang rasional, obyektif dan kritis. Program akademik menggunakan kurikulum nasional, kurikulum internasional dan kurikulum berciri khas International Islamic Education Council (IIEC).

3. Overseas Program

Diarahakan untuk mengembangkan wawasan internasional dan global, sehingga siswa memiliki perspektif dan mindset global tentang bahasa, budaya, gaya hidup, ilmu dan teknologi yang sama dibutuhkan bagi semua siswa untuk kehidupan ke depan. Terutama dalam melihat tantangan, peluang dan modal apa yang harus dimiliki siswa agar dapat survive dan kompetitif dengan warga dunia lainnya.

4. Interpersonal Skills Program

Interpersonal Skills Program diarahkan untuk mengembangkan kemampuan personal (personal development) baik yang soft skill maupun yang hard skill. Interpersonal Skills Program sangat dibutuhkan untuk kemandirian siswa, pembangunan karakter dan ketrampilan hidup sesuai dengan tuntutan global.

“Rapor Sang Direktur Eksekutif”

 dsc_7834

Bab I

Pencari Rumput dan Kayu Bakar

 

Tiga puluh tahun tahun silam, Sekolah Dasar itu mungkin tak memiliki makna kecuali warna buram dan kesan sebuah masa lalu saat aku belajar membangun sebuah ikhtiar; Hidupku, Perjuanganku, dan Ibadahku!

 

Saat itu aku duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga, dimana seharusnya aku menikmati indahnya sekolah dengan pengenalan realitas baru pada adanya ketertarikan bersosialisasi dengan kelompok. Namun semua harapan yang tumbuh pada hati semua lelaki di usia tersebut tampaknya harus aku kubur rapat-rapat, bahkan tidak boleh dilirik walau hanya satu pergantian waktu, semuanya karena aku memiliki sebuah keluarga yang sangat berharga. Sebuah alasan sederhana yang sesungguhnya kaya akan kompleksitas karena keluarga pada bagian hidupku yang lain nanti, bahkan mungkin sekali dari sebelum cerita ini dimulai__adalah sesuatu yang tak akan pernah mau ku tukar dengan harta atau apapun.

 

Mencari rumput untuk memberi makan 5 ekor kambing dan kayu bakar untuk memasak adalah my daily activities, dan tanganku telah begitu terlatih untuk merindukan semua itu pada terik matahari yang menyengat pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB dimana senyuman-senyuman penuh kasih berwarna orange tetap dicurahkan langit untukku diantara peluh yang sejak saat itu tak pernah lagi ku hapus. Setelah menegakkan tiang agama pada waktu Dzuhur, aku akan menikmati perjalanan 1 hingga 2 km mengikuti ketersediaan rumput. Setelah sebelumnya Aku, Abdillah, Getong, Agus, Surya, Adun, dan Asmat bertemu di kobak[1] untuk mengasah parang hingga ketajamannya kurasa telah cukup mengalahkan kerapuhanku untuk mengejar cita-cita terpendamku.

 

Kemudian seperti biasa, rumput yang kami dapatkan akan kami masukkan ke dalam sundung yang telah disesuaikan dengan tinggi dan kemampuan kami untuk membawa bobot sundung dengan setumpuk penuh rumput di dalamnya. Namun tidak semudah itu memenuhi sundung dengan rumput, kalau beruntung, dengan mempertimbangkan peluang di musim hujan, kita bisa memenuhinya dengan rumput, namun bila kita tidak ahli memperkirakan cuaca atau paling tidak berhubungan dekat dengan pawang hujan, lebih baik tidak usah mencoba berlari estafet di padang rumput itu, lagipula siapa yang mau berteduh dibawah langit saat hari hujan? Dan siapa pula yang ingin merasakan dinginnya hujan dibawah pohon berdaun agak besar? Namun bagiku, bagi kami, disinilah letak the art of life. Maka hijaunya hari itu seolah diserap dari pepohonan hingga matahari jingga menggelincir melalui rerumputan tinggi sepanjang tahun 1978 itu.

 

Pada jam-jam seperti ini, saat bumi diguyur air yang tak jua sudi berhenti, kedua adikku Sulastri dan Sukaimih terperangkap di rumah kebun hias yang tak lagi terurus. Bersamaku, mereka akan menahan jerit ketakutan sekuat-kuatnya dalam hati, petir yang menyambar dianggap seperti lantunan suara merdu adzan, dan angin lebat yang menyeramkan tervisualisasikan sebagai angin mimpi yang teduh.

 

Rumah kami dibangun dengan tiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap genteng dan seng, dan berlantai tanah yang dilicinkan terus menerus, kalau itu juga masih dapat dikategorikan lantai. Yang jelas itu lantai terindah dalam pertumbuhanku dulu, walaupun sangat jauh dari definisi lantai pada umumnya, keramik, apalagi marmer. Di dalamnya saat hujan menebal oleh deras air, aku yang ketika itu berusia 12 tahun akan mengamati setiap detail rumah, mengajak adikku berlindung ditempat yang aku fikir akan aman kalau suatu waktu rumah itu rubuh, atau kalau aku tidak ada rencana. Tak ada rencana sama sekali untuk berlindung, aku akan mengajak kedua adikku mengungsi ke rumah tetangga. Kemudian barangkali mereka berpikir bahwa kedua adik yang manis-manis itu tengah bermain petak umpet, seperti yang biasa dilakukan anak perempuan seusia mereka. Padahal mungkin tidak begitu, bahkan jauh dari semua itu. Konsistensi yang tidak dapat diklasifikasikan.

 

Ingatanku akan hari-hari selanjutnya seakan mulai kabur, dan datanglah musim panas, dimana batas waktu tak pernah diberlakukan. Di sekolah mencari rumput kau boleh datang jam berapapun kau mau, namun pulang selarut mungkin kau bisa. Karena sama seperti sekolah formal, sekolah rumput juga menuntut seseorang untuk banyak mencari ilmu–dalam hal ini rumput–karena di musim panas, rumput semakin langka dan ini berkorelasi dengan semakin jauhnya jarak yang perlu ditempuh, bila sudah begini biasanya aku dan teman-teman akan sejenak menjadi suku nomaden pencari rumput. Kami saling bicara, tertawa, tertidur, kemudian pulang ke rumah kami masing-masing saat Maghrib. Aku sebenarnya bermimpi mendapatkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Namun apabila tidak, tentu saja tidak jadi masalah. Karena alam mempunyai segala kemungkinan dalam hidup. Dan dalam kehidupan terdapat segala kemungkinan bagi alam.

 

Sesampainya dirumah ku berikan semua rumput itu pada tamu kesayangan masa kecilku. Tamu-tamu itu memesan menu yang sulit kudapat dimusim panas, sekeranjang penuh sundung berisi rumput. Mendengar mereka mengembik dan menikmati rumput itu rasanya lelahku terbayar tuntas, ada rasa kebahagiaan yang tak bisa ku eja apa maknanya. Ya. Sudah. Jelas sekarang. Aku bahagia dengan gelar pencari rumput. “Jadi..aku berfikir.. suatu hari nanti yang akan aku bawa adalah makanan dan uang untuk kedua adikku”. Satu harapan kecil di tengah kota administratif Depok, tepatnya Kampung Pulo Rt.03/09 No. 29 Kelurahan Rangkapan Jaya Kec. Pancoranmas yang akhirnya berani terikat simbulnya hari itu.

 

Harapan seorang anak kedua yang bergender pria dari suami yang ketiga dan istri yang entah telah menjadi istri keberapa darinya. Aku hampir tidak ingat kapan terakhir kali aku menyimpan rapat-rapat pertanyaan mengenai hal tersebut, namun seingatku, sampai  beliau wafat aku tak pernah sempat menanyakannya. Yang penting bagiku saat itu adalah makan, tidur, dan istirahat. Tidak ada konsep high quality standards untuk kaum minoritas seperti keluarga kami. Kami mengabaikan aturan yang menentukan siapa yang harus bermimpi hidup layak dan bagaimana caranya.

 

Setelah aku merasa letih, artinya tugasku baru dimulai, karena agar ibu bisa memasak hari ini, yang sebaiknya kulakukan adalah segera mencari kayu bakar—daripada terbaring letih dibawah pohon—dan tentu saja itu pilihan yang kemudian ku ambil, setiap hari, setiap minggu, lebih lama dari masa penanaman jagung hingga siap dipanen. Minyak tanah yang di beli secukupnya bukan diperuntukkan untuk kompor minyak, melainkan untuk lampu tempel. Jika kau adalah seseorang yang pernah mencapai puncak gunung kemudian tinggal semalam disana, baru kau akan mengerti mengapa lampu tempel lebih penting daripada kompor minyak. Baru kau akan memahami semangat membaca dalam lampu yang sekedarnya, dan baru kau akan mengerti tentang betapa mahalnya listrik!. Keluargaku yang tidak pernah secara regular membeli minyak tanah, dipaksa oleh keadaan untuk secara regular membeli kegelapan.

 

Maka bermainlah aku dengan kayu-kayu indah ini, memotong kemudian mematah-matahkannya, namun tidak seperti rumput, kayu bakar justru mudah didapatkan saat musim panas. Tidak pernah berjalan beriring. Sama seperti kucing dengan anjing. Sama seperti matahari dengan bulan. Saat itu rumput dengan kayu bakar adalah potret buram sisi kehidupanku yang lain, ibarat minoritas dalam mayoritas, kemiskinan dalam kekayaan. Namun sejak itu aku belajar, bahwa dunia memiliki caranya tersendiri untuk menghancurkan manusia. Kayu bakar yang kukumpulkan satu hari akan cukup digunakan ibu untuk memasak selama tiga hari. Untuk mendapatkan kayu bakar tidak semudah yang kau bayangkan, aku seringkali dikejutkan oleh ular atau disengat oleh lebah.

 

Pernah suatu ketika saat aku sedang memanjat pohon menteng tua untuk mendapatkan kayu bakar, aku mendengar suara yang begitu jelas di telingaku, dan benar saja, aku tidak perlu menunggu waktu limabelas menit ketika lebah-lebah itu dengan sangat tidak memberi ampun menghabisi setiap kesadaran yang tersisa di tubuhku. Yang ku ingat saat itu lebah-lebah itu telah menari di kepala dan tubuhku, kau tahu tari salsa? Yah.. tidak jauh bisingnya dengan itu. Kugulirkan tubuhku menuruni pohon dengan cepat, apa yang pernah kupelajari mengenai hukum gravitasi saat itu benar-benar membantuku. Tak ku hiraukan lagi kayu bakar yang baru terkumpul setengah tumpuk, yang terdengar hanya dengungan lebah, dan yang terasa hanya nyeri yang sangat dahsyat di kepala dan tubuh. Kepalaku berputar-putar, mataku sampai nanar. Dan jika dulu kau adalah penggemar Meggi.Z dengan anggur merahnya, maka saat ini percayalah bahwa senyuman juga tak lebih dahsyat dari sengatan lebah!.

 

Sengatan lebah dalam memoriku sejak hari itu adalah sebuah kepedihan yang misterius dan magis. Sesampainya aku di rumah, dengan langkah gontai ku baringkan tubuhku, kakiku letih, kepalaku pening, tubuhku nyeri, Ahhh… rasanya nyaris begitu dekat dengan kematian. Tikar pandan di rumahku adalah pengobatan pertama yang praktis, perawatnya adalah dua adikku, lastri dan ami. Yang bisa kulalukan hanyalah berbaring disana, dan merintih. Dan mereka? Mereka terisak ikut merasakan perihku. Kami, bertiga, terisak sendiri.

 

Tidak ada yang memperdulikan keadaanku itu hingga pukul 17.30, mungkin saudara-saudaraku pun enggan untuk mengakui keluargaku sebagai saudara mereka. Ibu akhirnya pulang setelah bekerja sehari penuh sebagai pembantu rumah tangga di Perumnas Depok. Mendapatiku dalam keadaan yang sungguh tidak biasa, ibu memeluk dan menitikkan air matanya. Ibu memelukku seolah aku adalah sebuah karunia, yang dianugerahkan kepadanya dengan cinta. Sesuatu yang hening dan kecil. Amat sangat berharga. Digendongnya tubuhku yang sudah lunglai menuju rumah seorang dukun yang dipercayai dapat menghilangkan rasa sakit akibat sengatan lebah-lebah tersebut. Di hiraukannya lelah karena berjalan kaki lebih dari 5 kilometer tempatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ya Robb.. andai dapat kusapu airmata wanita agung itu.

 

Wanita itu adalah wanita tertangguh sepanjang hidupku, beliau rela berjalan kaki berkilo-kilo meter agar kami mendapatkan makanan. Ibu akan pulang membawa makanan dari rumah majikannya, setibanya dirumah makanan itu akan langsung menjadi santapan yang tak ternilai harganya oleh dua adikku. Aku sendiri hanya akan menikmati sisanya, karena adik-adikku masih terlalu kecil untuk belajar menahan lapar, sementara aku telah cukup besar dan terbiasa menahan lapar, atau makan tidak kenyang.

 

Tapi sore itu, makanan yang dibawa ibu tidak disentuh olehku, begitu juga adik-adikku. Padahal biasanya kedua adikku akan menangis apabila mereka tidak mendapatkan cukup makanan. Detik itu mereka hanya terpaku dengan kondisiku. Kurindukan sosok pria teguh yang harusnya hadir menguatkanku, namun tak kutemukan sosok Bapak. Hampir saja aku lupa kalau ini bukan hari sabtu, karena bapak hanya akan pulang setiap hari sabtu, untuk kemudian pergi lagi pada senin paginya. Hal inilah yang kelak ketika aku sudah lebih dewasa aku ketahui sebagai kebijakan poligami. Pekerjaan Bapak sebagai seorang pekerja kasar dan serabutan (pembuat ubin dan batako) membuat penghasilannya tidak mencukupi untuk membiayai kehidupan kami baik dari segi makan, pendidikan, maupun biaya kesehatan. Inilah yang mendorong Ibu menghidupi seluruh keluargaku.

 

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa begitu kecil.. begitu miskin.. namun begitu kaya akan kasih sayang. Terbersit pertanyaan yang terlintas tanpa disengaja, “apakah aku tidak memiliki saudara yang peduli dengan kehidupan kami?”

 

 

 

 

Bab II

Buaian Mimpi Bulan Ramadhan

 

Ada kalanya kekeliruan justru terjadi ketika seseorang berniat melakukan suatu hal dengan benar.  Itulah yang aku rasakan saat Bulan Ramadhan datang, disaat semua orang bergairah hidup, aku dan keluargaku akan melakukan “pergunjingan” di sekitar masyarakat dan Ramadhan. Kukatakan itu “pergunjingan” karena aku sering menggunakan satu kata untuk konsumsi diriku pribadi, agar aku mudah mengingatnya. Bulan itu, kami terbiasa dengan kondisi lapar, tidak makan enak, tidak tenang, dan tidak bisa ibadah. Aku dan keluargaku telah ditidurkan dalam kegelapan tanpa cahaya lampu dan telah dibesarkan untuk memanggul beban sosial yang berat.

 

Hari pertama puasa di bulan ramadhan, aku terbangun untuk sahur, tapi tak kulihat nasi yang diperuntukkan untukku. Yang ada hanya kakakku, Mas Giarto. Kupandangi dirinya menatap makanan di depannya, mengambil segelas air, sendok dan menghabiskan sahurnya dalam hitungan menit. Mas Giarto tak menatap makanan sahur lama, untuknya itulah rezeki hari ini, sepiring nasi putih dan semangkuk sayur daun singkong, memang selalu sudah lebih dari cukup, as usual. Mas Giarto adalah harapan Ibu agar bisa mendukung aku dan kedua adikku dalam hal pendidikan dan masa depan. Mas Giarto tak akan sungkan melakukan apapun agar bisa menamatkan sekolah hingga SMA untuk kemudian bekerja dan membantu ekonomi keluarga kami.

 

Setelah aku lulus SD, keadaan memaksaku tidak melanjutkan sekolah, hal yang serupa juga berlaku untuk adikku. Maka sejak hari itu sudah diputuskan bahwa setelah hari terakhir aku menerima Rapor SDku, maka aku dan kedua adikku akan berada dirumah dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00 untuk melakukan semua pekerjaan rumah, menyapu halaman, menyeterika, dan mencuci pakaian di sungai adalah hal yang sering kami lakukan. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan saat itu kecuali menjaga kedua adikku. Aku merasakan satu ketakutan tersendiri setiap kali melewati pedagang kaki lima atau jajanan anak kecil pada umumnya, aku takut sekali tak bisa memenuhi keinginan mereka apabila mereka meminta sesuatu. Mungkin telah terjadi sebuah tragedi di dalam hati mereka jauh sebelum aku menyadarinya.

 

Dan bergulirlah hari, hingga warna orange itu kembali terlihat, suara adzan maghrib juga mulai berkumandang, bersahut-sahutan seperti tak ingin terdahului oleh malaikat yang kiranya sudi berkunjung ke bumi. Dalam keadaan seperti ini, kau bisa menyaksikan hiruk pikuk kota Depok, sebagian orang akan berkumpul di satu warung, melepas dahaga dan lapar yang tertahan selama satu hari penuh. Ada juga yang terduduk santai di pinggir jalan, menikmati sebotol air dingin karena tak sempat sampai ke rumah sebelum waktu adzan. Menikmati es buah dingin, atau sate padang di pinggir jalan.

 

Namun di tengah kenikmatan, biasanya kita hanya terpaku pada yang general, kita terlupa pada apa yang parsial. Yaitu fakta bahwa ada juga sekeluarga yang tidak merasakan kenikmatan berbuka puasa seperti semua orang pada umumnya, dalam keluarga itu tidak ada makanan enak yang bisa di habiskan. Nasi putih pada waktu berbuka puasa adalah prestasi yang tertinggi, karena biasanya keluarga itu hanya akan menikmati singkong. Dan jika ada rezeki lebih, uang Rp.25.000 akan dibelikan sirup mangga atau pisang. Namun frekuensi rezeki lebih dalam keluarga itu.. hampir bisa dihitung dengan jari. Dan cerita itu adalah tentang keluargaku. Oleh karena itu selesai berbuka puasa, aku langsung ke musholla. Disana aku menghabiskan waktu dengan tadarus dan tarawih, baru setelah pukul 23.00 WIB aku pulang ke rumah.

 

Pada Malam ke 21 Bulan Ramadhan, masyarakat disekitarku akan merayakan malam istimewa yang mereka sebut dengan “maleman”, atau yang kemudian pada usia 17 tahun aku mengetahui maksud mereka mengarah kepada HR. Ahmad, terjadinya malam Lailatul Qadar, dimana Rasulullah menggambarkan dalam bulan ramadhan, pada sepuluh yang terakhir, malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29, atau malam terakhir ramadhan. Siapa yang mengerjakan ibadah(qiyam) pada malam itu dengan iman dan keihlasan, diampuni dosa-dosanya pada masa lalu dan masa yang akan datang.(HR. Ahmad).

 

Biasanya, pada malam itu orang tua membuat kue-kue untuk di bawa ke musholla. Dan setelah selesai shalat tarawih kami makan kue bersama. Hanya pada malam itu kami dapat makan kue dengan jenis berbeda-beda. Ada 3 kualitas kue yaitu kue pisang, kue unti (ada 2 tepung ketan dan tepung bukan ketan hitam). Keluargaku biasanya hanya mampu membuat kue pisang yang kualitasnya paling rendah. Namun tidak setiap tahun kami mampu membuat kue, kadang kami hanya mengharapkan kiriman kue dari orang lain. Bahkan suatu hari pada tanggal 20 Ramadhan, kami tidak mempunyai apa-apa, beraspun tak ada untuk di jadikan tepung kue. Saat semua orang sibuk membuat kue, Ibu juga ikut membuat kue dalam dunia khayalnya. “Ahh.. tidak apalah ibuku sayang, bukankah untuk keluarga kita mengkhayal adalah satu-satunya hal yang gratis?.”

 

Mas Giarto yang tak tega melihat kondisi keluarga kami saat itu, memutuskan untuk pergi memancing belut ke sawah. Dan tanpa diduga-duga, dia mendapatkan banyak belut besar, kemudian belut-belut itu di jual sehingga malam harinya kami sekeluarga dapat menikmati kue.

 

Lain waktu, Mas Giarto mengajak untuk bekerja sebagai kuli penggali sumur di Pondok China (Sekarang UI) dari pagi sampai sore. Dia perlu uang untuk membeli pakaian lebaran, sementara aku menginginkan uang untuk melanjutkan sekolah. Kami memang tim kerjasama yang unik, bayangkan saja, meskipun saat itu bulan Ramadhan namun kami tidak membatalkan puasa. Di bawah terik matahari yang menyengat Mas Giarto menggali sumur dan aku menariknya ke atas hingga perlahan-lahan keluar air. Tak ada pembicaraan akan panasnya hari, tak ada pemahaman akan rukhsah. Yang ada hanyalah penawaran akan upah kami, Mas Giarto mendapatkan Rp. 15.000 sementara aku Rp. 10.000.

 

Dengan hati yang terisi semangat takbiran, malam menjelang Idul Fitri Mas Giarto membeli pakaian baru. Aku terpana dalam hati, ia memang jenis lelaki yang sulit dibayangkan pernah jadi anak-anak, apalagi bayi. Aku bangga memilikinya sebagai abangku.

 

Dua hari sebelum lebaran, orang-orang akan sibuk tandingan[2] Sapi/Kerbau. Daging itu akan dipotong untuk kemudian di nikmati saat Idul Fitri. Orang-orang juga akan sibuk menjahit atau membeli pakaian baru, namun sedihnya semua hal tersebut tidak berlaku untuk keluargaku. Tidak ada pakaian baru, daging di meja makan, atau jamuan di meja tamu. Kondisi ekonomi membuat kami tak mampu membeli semua itu. Terkadang aku harus menahan rasa iriku pada setiap anak yang bercerita tentang pakaian baru mereka. Namun tidak hanya sampai tahap menahan iri, seringkali aku juga harus menahan malu karena mereka menghina pakaian kami.

 

Hari Idul Fitri akhirnya tiba, hari yang ketika itu justru membuat kami merasakan sesuatu yang aneh. Di saat aku tidak begitu memikirkan Idul Fitri tanpa baju baru, aku dan Mas Giarto justru terkena penyakit gatal-gatal akibat menggali sumur. Paling tidak aku sudah pernah mempunyai cita-cita untuk bisa melanjutkan sekolahku yang sempat terhenti. Dan Mas Giarto mengurungkan niatnya untuk mengenakan pakaian barunya hari itu. Sepanjang hari, kami hanya memandangi setiap orang hilir mudik melewati rumah kami, dan hampir tidak ada orang yang berkunjung ke rumah. Padahal Ibu, wanita yang ku katakan tangguh itu adalah anak paling tua. Mungkin karena rumah kami tak bisa dikatakan bagus, maka mereka enggan datang mengunjungi keluargaku.

 

“Allahumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik..”

Amin Ya Robb, Amin..

[1]Kobak adalah kubangan yang terbuat dari mata air.

[2]Suku jawa menyebutnya urunan, dalam bahasa betawi diartikan patungan.


IQRA’ DAH HIJRAH

Dalam review harvard University disimpulkan bahwa kunci sukses dalam hidup ada dua yaitu learn and change (belajar dan berubah).  Hal ini hampir senada dengan konsep hidup sukses dalam Islam  yaitu Iqra dan Hijrah yang pernah dipraktekan Nabi Muhammad SAW ketika mengembangkan dakwah beliau yang dimulai dari bagaimana Nabi mempelajari risalah Allah dengan perintah Iqra-Nya dan sesuadah memahami subtansi ajaran Islam kemudian dilanjutkan dengan Hijrah keberadaan tempat sebelum menemukan Yastrib yang kemudian diubah menjadi Madinah sebagai tempat yang cocok untuk mengembangkan dakwah Islam. Hal ini bukan berarti Madinah merupakan tempat terakhir hijrahnya Nabi, tapi terus spirit hijrah itu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam saat itu.  

 

Spirit untuk  Iqra dan Hijrah inilah yang dihidupkan di SMA IIBS (International Islamic Boarding School) dimana anak di-didik untuk dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat material-dunia maupun pengetahuan ritual-spiritual-akhirat. Karena sebagai sekolah Internasional yang Islamic, menyuguhkan 2 jenis ilmu pengetahuan ini menjadi mutlak dilakukan karena untuk melahirkan khalifah di dunia ini dibutuhkan kedua jenis pengetahuan tersebut. Namun pengusaan ilmu pengetahuan yang didapat dari sekolah tidaklah cukup berarti tanpa dibarengi dengan pengembangan wawasan, baik lokal, national, regional, maupun international. Dalam rangka pengembangan wawasan ini maka peserta didik di SMA IIBS diharuskan untuk hijrah  baik secara pemikiran maupun pada tataran sikap-prilaku.

 

Hijrah pada tataran pemikiran ketika terjadinya perubahan paradigma pemikiran dari paradigma lama yang regresif-destruktif ke paradigma baru yang progresif-konstruktif  yang berimplilasi pada perubahan sikap-perilaku yang positif-progresif-futuristik. Agar terjadi hijrah baik pada level pemikiran ataupun prilaku dibutuhkan iklim pendidikan yang kondusif  dan mengarah pada hal tersebut. Oleh sebab itu di IIBS anak didik untuk selalu mobile (moving class) baik di sekolah maupun di Asrama dan juga field trip baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan banyak melihat dunia luar maka akan terbangun mind set baru yang lebih maju dan lebih optimistik dalam menata hidupnya kedepan.

Pendahuluan

 

Gagasan SSM2007 lahir dari 13 (tiga belas) orang Anak Nagari Minangkabau yang telah bergelimang dunia entrepreneurship, kewirausahaan, kesaudagaran, profesional di berbagai sektor bisnis; lokal, regional, dan internasional, serta tersebar di setiap tingkatan pengalaman. Gagasan SSM2007 lahir atas kesadaran penuh, bahwa, partama,  Globalisasi perlu disikapi positif melalui pemahaman utuh terhadap potensi yang dimiliki dan penggalangan sinergi dengan membangun dan mengembangkan jaringan dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk dapat berdiri sejajar dan bersaing sehat. Kedua, Peningkatan percepatan pembangunan Sumatera Barat untuk meningkatkan kesejahteraan Anak Nagari Minangkabau sangat memerlukan peran Anak Nagari yang bergerak dalam bidang perdagangan dan jasa, Ketiga, Jiwa dan karakter kesaudagaran adalah salah satu kekuatan Anak Nagari Minangkabau, Keempat, Diperlukan adanya kontribusi para Saudagar Minang dalam pembangunan Sumatera Barat dan Indonesia, dan kelima,  diperlukan adanya sarana untuk saling kenal dalam upaya mengawali dan membentuk sinergi, kerjasama, serta meningkatkan rasa persaudaraan persatuan dalam wadah Jaringan Saudagar Minang. Keenam, menjalin Silaturahmi,Membentuk Jaringan, dan ketujuh, mengembangkan Sinergi Bisnis Dari Saudagar, Oleh Saudagar,untuk Masyarakat ranah dan rantau.

 

Dengan melihat 7 point yang menjadi dasar diadakannya Forum SSM2007 maka sangat jelas bidang pendidikan khususnya para saudagar yang bergerak di dunia jasa pendidikan mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya meng-akselerasi peningkatan kesejahteraan anak nagari Minangkabau. Dalam hal ini terkait dengan bagaimana para saudagar mampu mendesign sebuah lembaga pendidikan yang dapat melahirkan para saudagar seperti mereka. Karena berdasarkan data empiris bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang ada sekarang ini tidak lagi melahirkan dan mencetak para saudagar, tapi justru melahirkan calon-calon pegawai dan tukang-tukang baru. Padahal kalau kita lihat sejarah, banyaknya orang Minangkabau yang menjadi Sudagar tidak lepas format pendidikan yang ada pada waktu yang sangat kondusif untuk melahirkan saudagar-saudagar baru. Oleh sebab itu dalam tulisan ini saya mencoba mengelaborasi pendidikan Minangkabau yang berbasis  pada Surau untuk kenudian dianalisis untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuk melahirkan saudagar-saudagar baru yang sangat dibutuhkan untuk memepercepat pembangunan.

 

 

Format Pendidikan Adat Minangkabau Yang Berbasis Surau

 

1.  Pendidikan Calon Penghulu

 

Pendidikan adat Minangkabau tidak dilaksanakan pada suatu lembaga pendidikan tertentu, karena di dalam adat Minangkabau tidak dikenal adanya sistem yang demikian.  Penghulu  adalah  suatu jabatan  dalam  adat Minangkabau yang mengepalai suatu kaum atau suatu suku,  yang  diangkat  oleh  anggota  kaumnya  secara musyawarah dan mufakat dalam kerapatan adat kaum tersebut. Oleh karena itu, seorang penghulu diharuskan mengetahui tentang masalah adat Minangkabau dengan baik, karena kepadanya akan diserahkan memegang kekuasaan adat tertinggi dalam kaum tersebut. Dialah yang akan menjaga pelaksanaan adat di dalam kaumnya itu. Tanpa pengetahuan adat yang baik seorang Penghulu tidak akan dapat mengatur kaumnya dengan sempurna. Kedudukan Penghulu merupakan kedudukan yang turun-temurun melalui garis keturunan ibu (matrilineal).

 

Kedudukan seorang Penghulu tidak dapat diturunkan kepada anak, tetapi kemenakannya. Seorang anak di Minangkabau tidak masuk anggota kaum ayahnya, tetapi masuk ke dalam kaum ibunya.

 

Dalam satu kaum kedudukan Penghulu hanya dapat dipegang oleh seorang anggota laki-laki saja, kecuali apabila jumlah anggota kaum itu sudah besar. Untuk itu dapat diangkat seorang Penghulu baru, yang masih merupakan cabang dari kaumnya semula. Hal ini dapat terjadi biasanya apabila anggota suatu kaum yang pergi merantau sudah sangat banyak jumlahnya di suatu tempat. Untuk mengatur anggota kaumnya itu diperlukan seorang penghulu pula di sana, dengan sepengetahuan Penghulu asalnya mereka dapat mengangkat seorang Penghulu baru yang merupakan pecahan dari kaum asalnya dan masih tunduk kepenghulu asalnya.

 

Pendidikan seorang calon Penghulu sudah dimulai semenjak kecil, apalagi apabila kemenakan yang berhak menggantikan itu hanya seorang saja. Pendidikan diberikan secara lisan dan melalui praktek adat dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya pendidikan diberikan oleh seorang Penghulu kepada kemenakannya pada malam hari. Waktu itu penghulu itu menjelaskan segala sesuatu tentang adat seperti : kewajiban seorang Penghulu terhadap kaumnya atau anak kemenakannya, berapa jumlah harta pusaka dan di mana saja letaknya,  pantangan  seorang  Penghulu, silsilah kaum, bagaimana cara melola kaum beserta harta pusakanya, untuk apa saja harta pusaka itu dapat dipergunakan. Dijelaskan semua seluk beluk adat Minangkabau dan kaum mereka sendiri. Pengetahuan adat itu diberikan sedikit demi sedikit, kemenakan yang dengan patuh mendengarkan pelajaran mamaknya itu diharuskan mengetahui (hafal) seluruh kata-kata adat (pepatah) yang diajarkan itu. Proses pendidikan seorang calon Penghulu memakan waktu yang lama. Selama seorang penghulu masih hidup dia belum boleh digantikan, kecuali apabila dia sudah uzur betul.

   

Tempat melaksanakan pendidikan adat tidak ditetapkan pada suatu tempat, tetapi dapat saja dilakukan pada rumah adat kaum tersebut, di rumah kemenakannya, di balai adat, sewaktu istirahat kerja di rumah, atau sambil duduk-duduk sore. Yang perlu diperhatikan adalah jangan mengajar seorang kemenakan di depan umum atau sedang bermain judi. Waktu penyelenggaraan pendidikan adat itu juga tidak ditentukan, dan mengenai waktu tidak diperhitungkan.

 

Karena pendidikan adat itu diberikan secara lisan, maka sering terjadi tanya jawab antara penghulu dengan kemenakannya, bahkan kadang-kadang terjadi perdebatan. Keadaan yang demikian memberikan hasil-hasil yang positif dalam pendidikan itu, karena kemenakan betul-betul dapat menguasai masalah adat secara mantap.

   

Pendidikan adat melalui praktek biasanya dilakukan pada upacara adat seperti : upacara batagak penghulu (penggantian penghulu), upacara perkawinan, upacara batagak rumah (mendirikan rumah), dan lain-lain. Dalam upacara adat itu kemenakan disuruh penghulunya untuk memperhatikan jalannya upacara adat dari awal sampai selesai atau kemenakan disuruh penghulunya untuk mewakilinya. Kemenakan tersebut betul-betui ikut memegang peranan dalam upacara adat itu dan dapat membandingkan pengetahuan adat yang diperolehnya secara lisan dengan pelaksanaan yang sesungguhnya. Apabila dia  sudah menjadi Penghulu dia tidak akan canggung lagi menjalankan tugasnya.

 

Dengan cara lisan dan praktek adat itulah pada umumnya adat Minangkabau diwariskan kepada generasi berikutnya. Walaupun cara ini memakan waktu yang lama, tetapi sebaliknya pengetahuan adat yang diperoleh betul-betul mantap. Dengan demikian materi adat yang diwariskan kepada generasi berikutnya itu dapat diberikan secara wajar tanpa adanya unsur paksaan 

 

2. Pendidikan bagi Pemuda Perantau

 

Struktur dan sistem adat Minangkabau memberikan kekuasaan yang penuh kepada ninik mamak atau Penghulu sebagai kepala waris, kepala kaum, atau kepala suku sampai dengan meninggalnya. Harta pusaka dikerjakan dan diusahakan untuk kepentingan wanita dan anak-anaknya yang masih belum dewasa. Para pemuda Minangkabau seolah-olah merasa tidak berkuasa di dalam kaumnya yang menyebabkan mereka merasa kurang diperhatikan dalam lingkungan keluarganya. Perasaan yang demikian menyebabkan banyak pemuda Minangkabau yang tidak betah diam dalam lingkungan keluarganya dan di kampungnya. Dalam usaha mengatasi perasaan yang demikian atau untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang diperlukan, kebanyakan pemuda Minangkabau pergi merantau ke tempat lain di luar kampungnya di mana mereka dapat lebih leluasa berbuat sesuatu menurut kemauan dan kehendak mereka sendiri tanpa mendapat halangan atau pengawasan yang terus menerus dari keluarganya. Kepergian itu hanya untuk sementara saja, bukan untuk tetap menetap. Biasanya di tempat baru itu ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengumpulkan kekayaan dengan bekerja keras. Apabila kekayaan yang terkumpul sudah banyak mereka akan kembali ke kampung halamannya dengan membawa hasil usahanya yang sudah terkumpul. Dengan demikian mereka menunjukkan bahwa mereka juga dapat berbuat seperti orang tuanya, bahkan mungkin dapat lebih dari mereka. Pada mulanya merantau disebabkan oleh masalah yang disebutkan di atas, dan baru kemudian ada beberapa motif yang menyebabkan orang Minangkabau pergi merantau seperti sekarang.

 

Sebelum para pemuda itu pergi merantau, mereka dibekali dengan beberapa macam pengetahuan yang dapat dijadikan modal hidup, supaya jangan sampai hidup terlunta-lunta di rantau. Pengetahuan yang diberikan meliputi adat Minangkabau, yang diberikan secara lisan oleh mamaknya, antara lain : seluk beluk adat, cara hidup, cara berdagang, memburuh, dan sebagainya. Sesudah semua dijelaskan, terakhir dikunci dengan nasehat, bahwa semua usaha dapat dilakukan. Pertama sekali yang dilakukan adalah mencari lipatan dan sesudah itu baru berusaha. Pemberian pengetahuan seperti itu sudah merupakan kewajiban bagi seorang mamak terhadap kemenakannya dengan tujuan kepergian kemenakannya itu atas pengetahuan mamaknya dan supaya kemenakan tidak terlantar di rantau orang.

 

Sebaliknya seorang pemuda tidak akan diizinkan mamaknya untuk pergi merantau sebelum dianggap sudah menguasai adat secara umum dan memiliki suatu keterampilan khusus. Pemuda yang demikian dianggap akan terlantar hidupnya nanti di daerah rantau dan kalau hal tersebut sampai terjadi, maka yang akan dapat malu adalah mamaknya atau seluruh anggota keluarganya. Seorang pemuda yang merantau merupakan tenaga kerja yang sudah siap dan sanggup hidup secara mandiri di manapun mereka berada, karena bekal untuk hidup di rantau itu sudah dimilikinya, baik secara fisik maupun secara psikologis. Itu pulalah sebabnya kebanyakan pemuda Minangkabau jauh lebih berhasil di rantau dari pada di kampung halamannya sendiri.

 

3. Pendidikan Bela Diri

 

Dahulu kebanyakan pemuda Minangkabau diberi pendidikan bela diri dengan silat yang dibagi dua macam yaitu galuik yaitu silat bela diri dan silat tari yang dipergunakan untuk pertunjukan pada upacara adat Minangkabau. Silat bela diri mengutamakan gerak untuk membela diri dari serangan musuh, sedangkan silat tari mengutamakan gerakan yang indah dan berirama.

 

Silat  bela  diri  dapat  diikuti  oleh  setiap  pemuda Minangkabau asal dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh guru atau perkumpulan. Biasanya setiap nagari di Minangkabau ada sebuah perkumpulan silat bela diri yang diikuti oleh pemuda dari nagari yang bersangkutan. Perkumpulan silat bela diri dinamakan sesuai dengan nama gurunya, atau nama tempat di mana perguruan itu didirikan.

 

Guru silat bela diri biasanya seorang yang sudah terkenal keahliannya dan sudah sering dibuktikannya dalam menjaga keamanan kampungnya. Tingkatan murid diatur menurut keahlian masing-rnasing atau lama mereka belajar silat, makin lama seorang belajar makin tinggi tingkat kepandaiannya. Murid yang baru masuk dilatih oleh murid yang sudah lama sedang guru silat jarang turun tangan melatih murid baru ini. Pelaksanaan pendidikan atau latihan silat sehari-hari diatur oleh Guru Tuo (guru tua) yaitu murid yang telah dipercayai betul oleh gurunya dan sudah memiliki kepandaian silat yang tinggi. Di samping beberapa orang guru tua ini masih ada beberapa orang murid lagi yang berkepandaian setingkat di bawahnya yang bertindak sebagai pembantu guru tua dan biasanya dipilih dari murid yang pandai dan bersedia membantu.

 

Tempat melakukan silat bela diri biasanya di suatu tempat yang agak jauh letaknya dari kampung atau rumah penduduk  supaya jangan mengganggu ketenteraman. Untuk keperluan itu dibuat sebuah pondok dan di depan pondok itu dibuat sebuah lapangan kecil tempat latihan. Latihan diadakan pada malam hari dan biasanya pada saat terang bulan, karena penerangan lampu tidak cukup. Mula-mula yang berlatih adalah murid baru masuk selama kira-kira dua jam yang dimulai  sesudah sembahyang magrib. Sesudah itu mulai berlatih murid yang agak pandai kira-kira dua jam pula. Selanjutnya baru dimulai latihan murid yang sudah pandai termasuk guru-guru tua. Latihan terakhir ini biasanya diikuti oleh murid-murid yang menjadi pembantu guru tersebut. Di waktu inilah guru silat itu ikut melatih dengan memberikan petunjuk terhadap gerakan-gerakan  murid-muridnya  yang  masih  kurang  tepat. Kadang-kadang guru hanya memberi petunjuk dari luar tempat latihan yang berlangsung sampai subuh.

 

 

Proses ujian adalah guru memberitahukan pada murid yang bersangkutan bahwa ilmu silat yang dimilikinya dianggap sudah cukup. Murid sudah merasa bahwa tidak lama lagi dia akan diuji, tetapi kapan waktu ujian akan dilaksanakan tidak mengetahui. Ujian tersebut dimaksudkan supaya murid selalu siap setiap waktu, karena musuh datangnya tidak akan memberitahukan terlebih dahulu. Yang tidak boleh dilakukan oleh murid itu adalah mencari musuh dengan sengaja atau mencari gara-gara untuk menimbulkan keributan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tetapi apabila musuh itu datang sendiri tidak boleh dielakkan, walaupun akan berakibat korban nyawa sekalipun.

     

Tidak semua murid perkumpulan yang dapat lulus dari ujian  akhirnya,  karena  persyaratan  sangat  berat,  disamping harus mempunyai kepandaian silat yang tinggi mereka juga harus memiliki mental yang baik. Khusus mengenai mental ini murid sudah diteliti oleh gurunya mulai masuk belajar. Kalau ternyata watak si murid tidak baik, dia tidak akan diberikan ujian atau sebelum selesai belajar sudah disarankan untuk keluar saja karena kepandaian silat justru tidak berguna baginya selain dari akan mendatangkan huru hara saja di kemudian hari. Guru itulah yang akan menentukan apakah seorang murid dapat diberi pelajaran lanjutan atau tidak atau harus dikeluarkan.

 

Kalau memang sudah ternyata bahwa seorang murid sudah jelas tidak akan dapat belajar silat bela diri dengan baik, maka kepadanya akan diberikan silat tari saja. Untuk menetapkan ini seluruhnya terserah kepada guru yang bersangkutan dan tidak seorangpun yang dapat membantahnya.Pendidikan silat tari biasanya diberikan kepada murid yang tidak menjadi ahli silat bela diri atau kepada murid yang dianggap gurunya tidak mampu mempelajari silat beladiri dengan baik. Tetapi orang yang betul-betul ahli dalam silat tari adalah seorang ahli silat bela diri yang sudah mahir dalam gerakan, karena mereka sudah terbiasa dengan gerakan tersebut, bahkan sudah terbiasa dengan gerakan yang paling sulit sekalipun. Jarang sekali seorang ahli silat bela diri yang tidak mahir pula dalam silat tari, sebaliknya seorang yang hanya mahir dalam silat tari saja belum tentu mahir pula dalam silat bela diri. Bagi ahli silat bela diri dapat dikatakan bahwa silat tari itu merupakan selingan saja apabila mereka sudah terlampau letih berlatih silat bela diri. Untuk silat tari latihannya tidak bersinggungan satu sama lain seperti latihan silat bela diri, mereka hanya menari-nari saja tetapi dengan memakai gerakan-gerakan silat bela diri. Yang diutamakan dalam gerakan ini adalah unsur keindahan gerakannya, bukan gerakan untuk berkelahi.

 

d.      Pendidikan Pengobatan

 

llmu pengobatan tradisional Minangkabau biasanya juga merupakan ilmu yang turun temurun. Berbeda dengan pewarisan harta pusaka atau gelar pusaka, maka ilmu pengobatan dapat diwariskan kepada anak di samping kepada kemenakan atau cucu. Tidak semua orang tepat untuk dapat mewarisi ilmu pengobatan yang sering dipanggil tukang ubek (tukang obat) yang ahli dalam hal pengobatan. Istilah dukun biasanya dipergunakan untuk dukun beranak, baru kemudian dipergunakan untuk panggilan seorang yang punya keahlian dalam pengobatan tradisional Cara mewariskan pengobatan itu memakan waktu lama, seorang anak yang dianggap mampu mewarisi atau menggantikan seorang dukun, mulai kecil sudah dilatih dengan bermacam-macam ilmu tentang pengobatan, dan pengertian tentang bermacam istilah dalam pengobatan. Kemudian anak disuruh mencari daun-daun ramuan obat sebagai pembantu dukun tersebut. Anak sekaligus sudah berkenalan secara baik dengan macam-macam ramuan obat yang harus diketahui apabila sudah menjadi dukun pula. Walaupun dia hanya bertugas sebagai pencari ramuan dan pembantu si dukun, tetapi proses pendidikan sudah mulai berjalan dengan agak mendalam, karena untuk mengenal macam-macam daun obat-obatan itu yang jumlahnya tidak sedikit memang merupakan suatu hal yang agak sulit dilakukan dalam masa yang singkat.

   

Ilmu pengobatan tradisional pada waktu ini dikalahkan oleh pengobatan modern dengan segala peralatan yang modern pula. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa pendidikan pengobatan tradisional itu sudah habis, tetapi masih banyak terdapat. Di luar ibu kota Kecamatan pengaruh pengobatan tradisional masih kuat, apalagi di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian. Sekarang, orang Sumatera Barat sudah mengobati sakit yang dideritanya kepada dokter, bahkan ada kecenderungan orang berobat dengan dokter spesialis. Puskesmas yang terdapat di kecamatan dibanjiri oleh masyarakat yang ingin berobat, demam sedikit saja mereka sudah pergi ke Puskesmas dari pada pergi ke dukun.

 

e.      Pendidikan Tukang.

 

Yang dimaksud tukang adalah orang yang ahli dalam tukang kayu, tukang batu, pandai besi, dan tukang ukir. Setiap kepandaian tersebut menghendaki keahlian khusus untuk menguasainya. Tanpa latihan yang cukup kepandaian ini tidak mudah dimiliki seseorang dan cara mewariskan harus melalui latihan yang cukup.

 

Kepandaian seperti ini tidak merupakan kepandaian pusaka, tetapi biasanya diturunkan kepada anak atau kemenakan juga. Kepandaian itu dapat diturunkan kepada beberapa orang yang masih merupakan anak atau kemenakan. Yang dapat mencapai tingkat kepandaian tinggi biasanya hanya satu orang dan yang lain hanya akan menjadi pembantu yang satu orang ini.

 

Pendidikan tukang dilakukan melalui latihan dalam praktek pekerjaan yang sebenarnya dan tempat khusus untuk mendidik tukang tidak ada. Kalau seorang tukang mendapat borongan pekerjaan, maka tempat itulah yang dijadikan tempat melatih atau mendidik calon tukang yang bertindak sebagai pembantu dan tukang itu. Pendidikan di mulai dengan pekerjaan yang mudah lebih dahulu dan kemudian pekerjaan yang halus dan lebih khusus.

 

Pendidikan ini memakan waktu lama, baru betul-betul ahli di bidangnya. Masalah waktu tidak begitu menjadi perhatian, yang penting bagaimana kepandaian itu dapat dikuasai dengan sebaik-baiknya, Dengan demikian pendidikan memakan waktu yang lama sekali.

 

Dalam pendidikan ini tukang hanya memberikan pola satu  kali  saja  kepada  pembantunya  dan  selanjutnya pembantu itulah yang mengembangkannya. Pola yang diberikan merupakan patokan saja, sedangkan pembantu dapat mengembangkan menjadi beberapa pola baru yang tergantung pada kemampuan mencipta dari pekerja itu. Apabila tidak dapat menciptakan pola baru, maka tukang itu tidak akan mengalami kemajuan dalam pertukangan. Tetapi sebaliknya apa bila dapat membuat bermacam-macam pola atau variasi, maka dia dapat mencapai keahlian yang tinggi dalam ilmu pertukangan. Biasanya murid yang begini yang dibimbing dengan sungguh- sungguh oleh gurunya, karena dari dia dapat diharapkan timbul pewaris yang baik yang dapat mengembangkan ilmu pertukangan di kemudian hari.

 

Pendidikan tukang tradisional seperti ini sampai sekarang masih terdapat di daerah-daerah yang jauh dari pengaruh pendidikan seperti daerah yang terpencil.Tukang tukang yang beginipun masih banyak dan masih berfungsi di daerahnya masing-masing, karena tidak adanya masuk penambahan tukang yang telah mendapat pendidikan khusus

 

f.        Pendidikan Sastra

 

Pendidikan sastra tradisional juga diwariskan dengan cara tradisional. Yang dimaksudkan dengan sastra tradisional Minangkabau adalah sastra lisan yang terdiri dari bermacam-macam bentuk seperti : pepatah-petitih, pantun atau pantun adat, dan kaba.

 

Orang Minangkabau pada setiap pertemuan resmi seperti pada upacara adat atau pertemuan adat selalu mengemukakan maksudnya dengan kata adat yang banyak mengandung arti kiasan, karena orang Minangkabau dahulu mengemukakan pendapatnya dengan kata kiasan yang tersimpul dalam kata adat yang penuh irama, penerima juga akan menjawab pula dengan kata-kata adat.

  

h.      Posisi Guru dalam Pendidikan di Minangkabau

 

Istilah guru baru dikenal di Minangkabau sesudah masuknya pengaruh Hindu/Budha dan Islam yang di dalam ajaran mereka telah mengenal tokoh guru. Yang dikenal adalah istilah Penghulu atau Ninik Mamak yang merupakan seorang Pemimpin, pendidik, hakim, cendekiawan dan. alim ulama yang berlaku terhadap anak kemenakannya. Seorang Penghulu adalah seorang guru sejati, karena seluruh fungsi guru sudah dijalankan oleh mereka.

 

Tokoh guru yang pertama dan utama di Minangkabau adalah Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, tokoh pendiri adat Minangkabau.

Tokoh guru berikutnya adalah seluruh Penghulu karena mereka itulah langsung menerima warisan kedua Datuk pendiri adat itu sebagai pemegang dan pemelihara adat di Minangkabau. Mereka berkewajiban mewariskan kepada anak kemenakan supaya adat itu dapat dilanjutkan terus-menerus. Seorang Penghulu adalah juga seorang guru yang mendapat penghormatan yang tinggi dalam masyarakat karena menurut adat tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari seorang Penghulu. Mereka adalah orang yang didahulukan selangkah dalam segala hal, orang yang “tinggi tampak jauh, dakek jolong basuo, kahujanan tampek bataduah, kepanasan tampek balinduang”. (tinggi tampak dari jauh, dekat karena bersua, kehujanan tempat berteduh kepanasan tempat berlindung)

 

Pada dasarnya mereka hanya menyampaikan dan melanjutkan yang mereka terima mengenai adat itu kepada generasi berikutnya. Mereka dapat melakukan penyesuian dengan tidak merubah prinsip adat Minangkabau itu. Untuk penyesuaian itu adat sudah mengaturnya sebagai berikut:

 

“Sakali aia gadang sakali tapian baranjak” (sekali air bah, sekali tepian beralih). Karena derasnya arus tidak dapat ditahan dan dialirkan oleh sungai sehingga merubah tepinya. Yang berubah hanya pinggirnya saja menurut keadaan arus yang datang, deras datangnya arus banyak perubahan pinggirnya itu, kecil arus yang datang sedikit pula perubahannya. Adat Minangkabau tidaklah merupakan ajaran adat yang kaku, karena berdasarkan pengalaman yang didapat diadakan koreksi terhadap sesuatu ketentuan yang telah ada dengan tidak melakukan perubahan terhadap dasar-dasarnya.

 

Supaya adat tetap segar dan aktual, maka fatwa berikut mengatakan “mancaliak contoh ka nan sudah mancaliak tuah ka nan manang” (melihat contoh kepada yang lampau, melihat tuah kepada yang menang). Segala yang akan dilakukan sebaiknya meneladani apa-apa yang telah pernah dilakukan, yang baik diikuti dan yang buruknya dibuang. Adat yang dipakai itu selalu baru dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat, harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan zaman.

 

 

Tokoh guru lainnya adalah “mamak”, saudara laki-laki ibu dalam satu keluarga yang diangkat menjadi kepala keluarga. Dia  bertindak sebagai pendidik, menunjuk mengajari kemenakannya atau anak saudara perempuannya. Tokoh mamak mendapat tempat yang terhormat di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

 

 

Pendidikan Yang Melahirkan Saudagar-Saudagar Baru

Lembaga pendidikan kita sekarang ini – terutama yang mengutamakan nilai akademis sebagai indikator keberhasilan – cenderung menghasilkan “tukang-tukang” seperti: “tukang insinyur, tukang dokter”, dan lain sebagainya. “Tukang-tukang” tersebut hanya pandai mencari pekerjaan, tetapi bukan menciptakan pekerjaan. Padahal di era otonomi daerah saat ini, pendidikan entrepreneur-ship sanagat dibutuhkan. Karena, dengan pendidikan tersebut, sebenarnya akan banyak menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Tak hanya penting, tapi sangat mendesak. Maka sebaiknya, iklim menekuni dunia usaha harus diciptakan lewat dunia pendidikan

  1. Format Kurikulum Pendidikan Yang Melahirkan Saudagar

 

Dengan melihat bagaimana saudagar-saudagar Minangkabau dahulu menerima pendidikan, maka saya mengkonstruksi kurikulum pendidikannya menjadi empat elemen dasar, yaitu: Islamic Studies, Akademik, Overseas Program, dan Interpersonal Skill.

 

Islamic Studies diajarkan dalam rangka memperkuat karakter peserta didik untuk menjadi pribadi yang kuat, jujur, tegas, konsisten(istiqomah) dan mempunyai visi hidup yang jauh, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Dengan pengetahuan keagamaan yang luas, maka peserta didik akan dapat hidup dalam track yang benar dalam melihat berbagai persoalan hidup. Akan lebih tenang dalam menagkap peluang-peluang hidup, dan mempunyai basis nilai yang cukup untuk melangkah yang lebih panjang dalam hidup ini.

 

Untuk menjadi saudagar yang baik dan sukses sekarang ini, bidang akademik sangat diperlukan untuk menunjang dan mengembangkan semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi saudagar. Kalkulasi-kalkulasi bisnis yang akurat dibutuhkan kemampuan akademik yang baik. Hanya saja bidang akademik tidak boleh terlalau dominan, sehingga mengabaikan aspek-aspek yang lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang saudagar.

 

Overseas Program diberikan agar peserta didik mempunyai wawasan yang luas tentang perkembangan dan pembangunan dalam berbagai aspek di semua lapisan dunia. Peserta didik harus banyak bersentuhan dengan dunia luar, sehingga akan dapat membangun perspektif peserta didik yang luas dan akan menginspirasi apa yang terbaik yang harus dia lakukan kedepan. Dengan melihat kemajuan bangsa dan negara-negara lain, perkembangan dunia usaha yang begitu pesat akan berdampak positif untuk menggugah semangat enterpreneurship.

 

Interpersonal Skill penting diajarkan dan menjadi bagian kurikulum yang dapat melahirkan saudagar-saudagar Minangkabau yang baru. Interpersonal Skill baik yang soft skill maupun yang hard skill sangat dibutuhkan oleh semua peserta didik terkait dengan pengembangan dirinya kedepan. Dengan memiliki kemampuan komunikasi yang baik peserta didik akan mampu membangun jaringan bisnis yang baik, begitu juga kemampuan etika, estetika  yang juga terkait dengan personal development  akan semakin memperkuat kepribadiannya. Sedangkan kemampuan yang hard skill sangat dibutuhkan sebagai modal awal untuk dapat survive dalam kompetisi hidup yang semakin kompetitif.

 

Dengan melihat empat domain kurikulum di atas, maka keberhasilan peserta didik tidak hanya dilihat dari akademik saja, tapi juga dilihat dari tiga domain yang lain. Sehingga outputnya menjadi pribadi yang lengkap yang dibutuhkan untuk menjadi enterpreneur-enterpreneur baru.

 

 

  1. Metodologi Pendidikan

 

Untuk melahirkan saudagar /enterpreneur dibutuhkan metodologi pendidikan yang partisipatif-dialogis-praktis. Proses pembelajaran tidak lagi teacher centris, tapi sebaliknya melibatkan peserta didik untuk memecahkan persoalan-persoalan akademis dan non akademis. Siswa diajak berdialog untuk melihat persoalan hidup dan diminta untuk mengerjakan dan memerankan apa yang harus dan penting dilakukan oleh siswa. Sehingga siswa tidak hanya tahu secara teoritis tapi juga bisa mengerjakannya pada tataran praktis.

 

  1. Sarana Pendidikan

 

Sarana Pendidikan yang baik sangat dibutuhkan untuk pendidikan yang lebih berkualitas. Gedung, laboratorium science, laboratorium bisnis, tools yang dibutuhkan untuk praktek-praktek peserta didik harus ada untuk menunjang Proses Belajar Mengajar. Selain itu sarana lainnya seperti LCD, komputer, dll yang dibutuhkan untuk memberi gambaran yang lebih lengkap tentang ilmu pengetahun harus ada disetiap kelas. Hal ini penting agar siswa tidak terlalu abstrak menangkap pengetahuan yang diajarkan oleh para pendidik.

 

  1. Guru

 

Guru adalah aktor terpenting dalam keberhasilan proses pendidikan. Walalupun science dan technology sudah sangat maju tapi posisi guru tidak bisa tergantikan. Guru yang baik adalah guru yang dapat melakukan transformasi dan internalisasi nilai-nilai ilmu pengetahun baik yang teoritis maupun praktis dengan metodology yang tepat dan sarana serta alat  pendidikan yang sesuai. Guru tidak hanya dikelas, tapi juga di masyarakat. Sehingga guru betul-betul menjadi manusia yang digugu dan ditiru(ditauladani).

 

Dalam konteks pendidikan yang dapat melahirkan saudagar-saudagar baru, maka dibutuhkan guru-guru yang tidak hanya mempunyai pengetahuan teoritis tapi juga mempunyai kemampuan praktis. Yang menjadi guru bukan hanya mereka yang tamatan IKIP/FKIP tapi juga para saudagar yang telah sukses di dunia bisnis, ulama yang didengar fatwa-fatwanya oleh masyarakat, dan para profesional yang menggeluti dunia kerja.

 

Penutup

 

Harus diakui bahwa Forum Silaturahmi Saudagar Minang 2007  mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mempercepat kesejahteraan masyarakat Minangkabau. Bidang Pendidikan sebagai bagian dari usaha jasa, mempunyai 2 implikasi positif untuk terus dikembangkan. Pertama, bidang ini akan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat karena turunan dari bidang ini akan mampu mendongkrak perekonomian. Bisnis buku, percetakan, pakaian seragam, alat tulis dan lain-lain akan semakin berkembang kalau jasa pendidikan ini semakin maju. Kedua, Jasa Pendidikan akan mampu melahirkan saudagar-saudagar baru yang lebih kreatif, atraktif, dan responsif terhadap tantangan dunia usaha yang cepat. Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita semua, Amiin.

Pendahuluan

 

Sesungguhnya term boarding school bukan sesuatu yang baru dalam konteks pendidikan di Indonesia. Karena sudah sejak lama lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menghadirkan konsep pendidikan boarding school yang diberi  nama “Pondok Pesantren” . Pondok Pesantren ini adalah cikal bakal boarding school di Indonesia. Dalam lembaga ini diajarkan secara intensif ilmu-ilmu keagamaan dengan tingkat tertentu sehingga produknya bisa menjadi “Kiyai atau Ustadz” yang nantinya akan bergerak dalam bidang dakwah keagamaan dalam masyarakat. Di Indonesia terdapat ribuan pondok pesantren dari yang tradisional sampai yang memberikan nama pondok pesantren modern.

 

Ketika dipertengahan tahun 1990 an  masyarakat Indonesia  mulai gelisah dengan kondisi kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara ekstrim—yang pesantren terlalu keagama dan yang sekolah umum terlalu keduniawian—ada upaya untuk mengawinkan pendidikan umum dan pesantren dengan melahirkan term baru yang disebut boarding school atau internat yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia(umum) dapat capai dan ilmu agama juga dikuasai. Maka sejak itu mulai munculah banyak sekolah boarding yang didirikan yaitu SMA Madania di Parung Bogor, SMA Al-Azhar di Lippo Cikarang, SMA Insan Cendekia di Serpong, SMA Dwiwarna di Parung Bogor, SMP dan SMA Al-Kautsar di Sukabumi, SMA Salman Al-Farisi, SMA IIBS di Lippo Cikarang.

 

Dari banyak sekolah-sekolah boarding di Indonesia, terdapat 3 corak yaitu bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang bercorak agama terbagi dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal. Hal ini lebih merupakan representasi dari corak keberagamaan di Indonesia yang umumnya mengambil tiga bentuk tersebut. Yang bercorak militer  karena ingin memindahkan pola pendidikan kedisiplinan di militer kedalam pendidikan disekolah boarding. Sedangkan corak nasionalis-religius mengambil posisi pada pendidikan semi militer yang dipadu dengan nuansa agama dalam pembinaannya di sekolah.

 

Kehadiran boarding school telah memberikan alternative pendidikan bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Seiring dengan pesatnya modernitas, dimana orang tua tidak hanya Suami yang bekerja tapi juga istri bekerja sehingga anak tidak lagi terkontrol dengan baik maka boarding school adalah tempat terbaik untuk menitipkan anak-anak mereka baik makannya, kesehatannya, keamanannya, sosialnya, dan yang paling penting adalah pendidikanya yang sempurna. Selain itu, polusi social yang sekarang ini melanda lingkungan kehidupan masyarakat seperti pergaulan bebas, narkoba, tauran pelajar, pengaruh media, dll ikut mendorong banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya di Boarding School. Namun juga tidak dipungkiri kalau ada factor-faktor yang negative kenapa orang tua memilih boarding school yaitu keluarga yang tidak harmonis, suami menikah lagi, dan yang ekstrim karena sudah tidak mau mendidik anaknya dirumah.

 

 

Keunggulan Boarding School

 

Buku Harry Potter yang telah laris terjual dalam jumlah sangat besar di seluruh dunia sangat membantu dalam mempopulerkan sekolah berasrama(boarding school). Hal ini disebabkan setting cerita itu diambil dari petualangan di sekolah berasrama. Banyak “petualangan” dalam sekolah berasrama karena waktu yang panjang berada dalam lembaga pendidikan memungkin siswa untuk dapat mengekspresikan apa yang diinginkannya di sekolah. Ada beberapa keunggulan Boarding School jika dibandingkan dengan sekolah regular yaitu:

 

  • Program Pendidikan Paripurna

Umumnya sekolah-sekolah regular terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah regular. Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang komprehensif-holistic dari program pendidikan keagamaan, academic development, life skill(soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.  

 

  • Fasilitas Lengkap

Sekolah berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas sekolah yaitu  kelas belajar yang baik(AC, 24 siswa, smart board, mini library, camera), laboratorium, clinic, sarana olah raga semua cabang olah raga, Perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar(telepon, TV, AC, Pengering Rambut, tempat handuk, karpet diseluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, lemari es, detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari: meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan dan pecah belah yang lengkap, microwape, lemari es, ketel otomatis, pembuat roti sandwich, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.

 

  • Guru yang Berkualitas

Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Kecerdasan intellectual, social, spiritual, dan kemampuan paedagogis-metodologis serta adanya ruh mudarris  pada setiap guru di sekolah berasrama. Ditambah lagi kemampuan bahsa asing: Inggris, Arab, Mandarin, dll. Sampai saat ini dalam penilaian saya sekolah-sekolah berasrama(boarding school) belum mampu mengintegrasikan guru sekolah dengan guru asrama. Masih terdapat dua kutub yang sangat ekstrim antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan pengasuhan. Pendidikan dilakukan oleh guru sekolah dan pengasuhan dilakukan oleh guru asrama.

 

  • Lingkungan yang Kondusif

Dalam sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di boarding school adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi juga kehidupan kesehariannya. Sehingga ketika kita mengajarkan tertib bahasa asing misalnya maka semuanya dari mulai tukang sapu sampai principal berbahasa asing. Begitu juga dalam membangun religius socity, maka semua elemen yang terlibat mengimplementasikan agama secara baik.

 

  • Siswa yang heterogen

Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang social, budaya, tingkat kecerdasan, kempuan akademik  yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan national dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas.

 

 

  • Jaminan Keamanan

Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Makanya, banyak sekolah asrama yang mengadop pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sangsi-sangsi bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil, menengah sampai berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasarama, mulai dari jaminan kesehatan(tidak terkena penyakit menular), tidak NARKOBA, terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik(tauran dan perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.

 

 

  • Jaminan Kualitas

Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol,  dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan  tidak ada variable lain yang “mengintervensi” perkembangan dan progresivits pendidikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa dapat melejikan bakat dan potensi individunya.

 

 

 Problem Sekolah Berasrama

 

Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama  dalam pengamatan saya masih banyak mempunyai persoalan yang belum dapat  diatasi sehingga banyak sekolah berasrama layu sebelum berkembang dan itu terjadi pada sekolah-sekolah boarding perintis. Faktor-faktornya adalah sebagai berikut:

 

  1. Ideologi Sekolah Boarding yang Tidak Jelas

Term ideology saya gunakan untuk menjelaskan tipologi atau corak sekolah berasrama, apakah religius, nasionalis, atau nasionalis-religius. Yang mengambil corak religius sangat beragam dari yang fundamentalis, moderat sampai liberal.Masalahnya dalam implementasi ideologinya tidak dilakukan secara kaffah. Terlalu banyak improvisasi yang bias dan keluar dari pakem atau frame ideology tersebut. Hal itu juga serupa dengan yang nasionalis, tidak mengadop pola-pola pendidikan kedisiplinan militer secara kaffah, akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama saya melihatnya masih belum jelas formatnya.

 

  1. Dikotomi guru sekolah vs guru asrama (pengasuhan)

Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok untuk sekolah berasrama. Pabrikan guru (IKIP dan Mantan IKIP) tidak “memproduksi” guru-guru sekolah berasrama. Akibatnya, masing-masing sekolah mendidik guru asrmanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) bertugas hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan adalah tersendiri hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Ini penting untuk tidak terjadinya saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara guru sekolah dengan guru asrama.

 

  1. Kurikulum Pengasuhan yang Tidak Baku

Salah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah kurikulum pengasuhannya. Kalau bicara kurikulum academicnya dapat dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada kurikulum KTSP-nya produk DEPDIKNAS dengan ditambah pengayaan atau suplemen kurikulum international dan muatan local. Tapi kalau bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat militer(disiplin habis) sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-duanya mempunyai efek negative(Sartono Mukadis), pola militer melahirkan siswa yang berwatak kemiliter-militeran dan terlalu lunak menimbulkan watak licik yang bisa mengantar sang siswa mempermainkan peraturan.

  1. Sekolah dan Asrama Terletak Dalam Satu Lokasi

Umumnya sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini yang telah banyak berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan anak berada di sekolah Asrama. Faktor ini(salah satu factor) yang menyebabkan SMA Madania di parung Bogor sempat mengistirahatkan boarding schoolnya. Karena menurut Komaruddin Hidayat(Direktur Executive Madania), siswa harus mengalami semacam proses berangkat ke sekolah. Dengan begitu, mereka mengenyam suasana meninggalkan tempat menginap, berinteraksi dengan sesama siswa di jalan, serta melihat aktivitas masyarakat sepanjang jalan. Faktor ini juga yang menyebabkan IIEC Group mendirikan International Islamic High School Boarding Intermoda (IIHSBI), dimana sekolah dan asrama serta fasilitas utama lainnya tidak berada dalam satu tempat sehingga siswa dituntut untuk mempunyai mobilitas tinggi, kesehatan dan kebugaran yang baik, dan dapat membaca setiap fenomena yang ada disekitarnya.

 

 

Pendekatan Menyeluruh Sebagai Solusi

 

Sejak tahun 1998 saya terjun mengelola sekolah berasrama (boarding school) saya dapatkan data bahwa hampir 75 % siswa yang sekolah boarding adalah kemauan dari orang tua siswa  bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya, dubutuhkan waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk kedalam konsep pendidikan boarding yang integrative. Hal ini disebabkan karena citra seklolah berasrama yang menakutkan, kaku, membosankan (bukan boarding school tapi boring school).  Oleh sebab itu perlu di-design sekolah berasrama yang menarik, nyaman, dan menyenangkan.

 

Konsep sekolah berasrama perlu pendekatan menyeluruh, terutama dalam memahami peserta didik. Sekolah berasrama tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas akademik dan fasilitas menginap memadai bagi siswa, tetapi juga menyediakan guru yang menggantikan peran orangtua dalam pembentukan watak dan karakter. Kedekatan antara siswa dan guru dalam sekolah berasrama yang tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi guru di mata para murid. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok yang ingin diteladani. Dr Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para siswa dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka.

 

Keteladanan secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi secara internal personality. Dan akan tercipta tanpa si anak merasa asing dengan kemampuan yang mereka miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain. Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan kesiapsiagaan guru mereka 1×24 jam akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi mereka sebagai pelajar. Hal itu akan mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Jika metode pembelajarannya diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan para pelajar akan lebih mudah untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun untuk itu dibutuhkan seorang quantum teacher yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif, harmonisasi keduanya akan memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi siswa
 

 

 

Guru-guru sekolah berasrama harus banyak “diproduksi” oleh universitas-universitas yang selama ini melahirkan banyak guru-guru mata pelajaran. Guru sekolah berasrama adalah guru yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional. Dia tidak hanya pintar mengajar, tapi juga pintar berteman, pintar memberi pengayoman, pintar bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak, selalu berkembang dan terus berkembang. Karena yang dia hadapi adalah siswa atau peserta didik yang terus berkembang, terus belajar, dan terus berubah. Bagaimana kita melahirkan peserta didik yang hebat, visioner, responsive, kalau gurunya adalah orang-orang yang tidak cinta ilmu, tidak terus belajar, dan tidak terus berkembang.

 

Dalam pola pengasuhan perlu diterapkan pola pengasuhan yang dapat menyiasati dua kutub yang ekstrem(disiplin militer dan longgar habis) agar siswa bisa memiliki watak dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap lingkungan masyarakat.

 

Dalam konteks manajemen sekolah, boarding school model pengelolaannya harus lebih lentur, efektive, dan menerapkan manajemen berbasis sekolah secara konsisten. Sekarang ini DEPDIKNAS sudah mengesahkan MBS dan KTSP tapi banyak pengelola sekolah yang mencari pembandingnya adalah sekolah negeri. Padahal sekolah negeri adalah sekolah yang sangat standard dan tidak layak dijadikan model oleh pengelola boarding school. Misalnya soal waktu belajar, di negeri untuk tamat sekolah SMA rata-rata membutuhkan waktu 3 tahun dengan belajar perhari 8 jam penuh. Sementara di boarding school 24 jam dikurangi waktu tidur 8 jam perhari berarti 16 jam perhari. Kalau waktu-waktu ini dimaksimalkan mengapa harus 3 tahun, kenapa tidak 2 tahun sehingga boarding school menjadi menarik. Dasar ini bisa dijadikan argumentasi kepada regulator sekolah(DEPDIKNAS) payung hukumnya bisa menggunakan payung hukum akselerasi tapi substansinya adalah regular.

 

 

Penutup

 

Sekolah Berasrama adalah alternative terbaik buat para orang tua menyekolahkan anak mereka dalam kondisi apapun. Selama 24 jam anak hidup dalam pemantauan dan control yang total dari pengelola, guru, dan pengasuh di seklolah-sekolah berasrama. Anak betul-betul dipersiapkan untuk masuk kedalam dunia nyata dengan modal yang cukup, tidak hanya kompetensi akademis, tapi skill-skill lainnya dipersiapkan sehingga mereka mempunyai senjata yang ampuh untuk memasuki dan manaklukan dunia ini. Di sekolah berasrama anak dituntut untuk dapat menjadi manusia yang berkontribusi besar bagi kemanusiaan. Mereka tidak hanya hidup untuk dirinya dan keluarganya tapi juga harus berbuat untuk bangsa dan Negara. Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar berkualitas, dan lingkungan yang kondusif harus didorong untuk dapat mencapai cita-cita tersebut. Amiin

 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Sutrisno Muslimin, lahir di Bogor 10 April 1969. Mulai menjadi guru di SMP Muhammadiyah 2 depok tahun 1992, tahun 1993 mengajar di MAN 4 Jakarta, tahun 1998 menjadi guru dan kepala asrama di SMA Dwiwarna Boarding School, tahun 2003 hijrah ke Lippo Cikarng menjadi wakil kepala Asrama sampai tahun 2007 menjadi vice executive director di sekolah tersebut. Tahun 2008 menjadi Director Executive IIEC Group yang mengelola 2 lembaga pendidikan yang berada ditengah-tengah kota yaitu IIHS dan IISS Boarding Intermoda yang beralamat di Gedung Century Tower  Jl. HR. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan. Selain itu sejak tahun 2003 juga tercatat sebagai dosen di fakultas ilmu social universitas negeri Jakarta. Dan sejak tahun 2000 sampai sekarang juga tercatat sebagai pengurus masjid agung sunda kelapa(Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan).  

PENGEMBANGAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pendahuluan

 Pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia secara umum dianggap gagal. Bukti kegagalan tersebut tidak perlu lewat survei atau penelitian serius, karena kita dapat melihatnya dengan gamblang di sekeliling kit, di jalan, dan di pemerintahan. Tidak ada kolerasi antara pendidikan agama di sekolah dengan berbagai pelanggaran, tindak kriminal hingga kesemrawutan di berbagai level kehidupan. Meminjam standar penilaian resmi lembaga internasional, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar. Namun, Indonesia juga dinilai paling kotor, paling korup, penuh tindak kriminal dan kekeraan.           

Terdapat dua hal yang menjadi sebab utama gagalnya pendidikan agama di Indonesia. Pertama, karena pengajaran agama selama ini dilakukan secara simbolik-ritualisik. Agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang, tanpa memeikirkan kolerasi atara simbol-simbol ini dengan kenyatan dan aktivitas kehidupan di sekeliling mereka. Kedua, pendidikan agama di Indonesia dinilai gagal karena mengabaikan syarat-syarat dasar pendidikan yang mencakup pada tiga komponen; intelektual, emosional, dan psikomotorik. (Haidar Bagir, Kompas)           

Selain faktor di atas yang menjadi sebab gagalnya pendidikan agama di sekolah adalahekspektasi telalu besar terhadap pendidikan agama, padahal pendidikan agama hanya 2 jam pelajaran/minggu.           

Bagaimana kurikulum pendidikan Agama yang ideal yang bisa memasukan/menginternalisasikan nilai-nilai Islam sehingga dapat memberi warna dalam sikap, perilaku peserta didik? 

Pengertian Pendidikan Agama

Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubunganya dengan kerukunan antar ummat beragama dalam masyarakat hingga terwujudkesatuan dan persatuan bangsa. 

Kurikulum Pendidikan Agama

Kurikulum adalah circle of instruction, dalam kurikulum itu tergambar secara jelas dan terencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajar mengajar.

Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berfungsi seperti laboratorium __rentetan kontinue suatu eksperimen, dan semua pelakunya ialah guru bersama muridnya , yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmiawan__experience curriculum.

Kurikulum pendidikan agama tidak hanya berhenti pada apa yang harus dipelajari di dalam kelas tetapi kurikulum itu juga harus mencakup pembelajaran di luar kelas.

Karakteristik PAI menuntut ke arah sana, karena teori-teori keagamaan itu akan dipraktekan dalam laboratorium yang bernama “masyarakat”. 

Konsep Nilai

Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983).

Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut dengan norma.

Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.

Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan msyarakat (relatif). 

Nilai Moral Agama

Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya.

Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.  

Nilai-Nilai Islam

Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia.

Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.

Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran;

¨      Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma’ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; right, correct, just, fair; sound, valid.

¨      Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147).

¨      Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran agar dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.

 Nilai Ibadah Vs Nilai Sosial

Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan. Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya.

Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan sosial. 

Nilai-Nilai Islam dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama didekati dengan dua pendekatan: formal_penekanannya pada ritual dan ajaran, substansi_etika, spiritualitas dan pada aspek-aspek yang bisa mempertemukan perbedaan.

Hasil survei di Perguruan Madania, yang saya kutip dari www.islib.com yang diperlukan oleh orang tua dengan adanya pendidikan agama di sekolah adalah etika dan spiritual agama yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, kerjasama, pluralisme dan lain-lain.           

 Hal terpenting yang harus ada dalam currículo PAI Semarang selai intelektualisme, spiritualitas keagamaan, juga penting hádala kita membangun etika peserta didik yang diwarnai nilai-nilai Islam. Al-Qur’an menyatakan “ Kamu ádalah umat terbaik yang dilahirkan menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman lepada Allah (3: 110).           

Bangsa ini lemah terutama dalam bidang etika, mudah kolusi dan korupsi, semrawut, kotor, dimana kecendrungan dimulai dari sekolah dasar ingá mahasiswa. Kita diajarkan Ibadah, salta, puasa, mengkaji al-Qur’an untuk membangun kesadaran etik mempertajam hati nurani. 

Internalisasi Nilai-Nilai Islam Melalui School Culture

¨      Kurikulum Pendidikan Islam di sekolah dikembangkan dalam dua bentuk kegiatan: intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

¨      Pendidikan Islam yang hanya 2 jam/minggu dalam pembelajaran intra sulit untuk memberi warna dalam PBM.

¨      Nilai-nilai Islam bisa masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dengan membangun “budaya islam”—memindahkan nilai-nilai islam yang ada di masyarakat ke dalam budaya sekolah.

¨      Membangun budaya islam yang berbasis nilai-nilai islam tidak bisa hanya melibatkan guru agama atau dosen agama, tapi harus melibatkan seluruh civitas akademika yang ada.    

Ujian Nasional Ancaman Terhadap Nilai-Nilai Islam

Tujuan dilaksanakan UN merupakan sesuatu yang sangat mulia—meningkatkatkan kualitas pendidikan yang dilakukan secara bertahap dengan indikator pencapaian nilai UN yang semakin tinggi sesuai standar BSNP.

Namun kebijakan tanpa melihat realitas sosial yang telah mengindahkan semua aspek nilai-nilai agama, sosial, dan budaya untuk mencapai tujuan adalah sebuah kesalahan fatal.

UN tidak dilihat sebagai peristiwa biasa, tapi bisa menggugah prestise, siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, bupati, gubernur, dll.

Kecurangan-kecurangan UN membuat semua unsur yang terlibat dalam UN melakukan dosa kolektif.  Continue Reading »